
Ambon, 29 Agustus 2022 - Provinsi Maluku menjadi salah satu daerah di Indonesia yang paling rentan mengalami bencana akibat dari dampak perubahan iklim, antara lain; (1) aspek pertanian dan bahan pangan, (2) aspek kelautan dan perikanan, (3) aspek ketersediaan air minum, dan (4) aspek sosial ekonomi budaya dan tata kelola pemerintahan (Bappeda 2011).
Naiknya muka air laut juga mengancam potensi hasil perikanan dan kelautan yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi sekitar 80 persen masyarakat yang bermukim di pesisir, serta keberadaan 1.412 pulau dan daratan yang luasnya hanya 7,6 persen dari total wilayah Provinsi.
Dampak yang paling dirasakan oleh warga adalah rusaknya infrastruktur jalan dan tembok penahan ombak yang terjadi di sepanjang jalan pesisir, dari Kota Ambon ke Negeri Asilulu. Aspal jalan sudah tidak ada lagi, dan air laut menggenang di banyak titik badan jalan dan merusak tanggul penahan ombak banyak.
Angin kencang disertai gelombang pasang tinggi juga menjadi persoalan lain yang banyak terjadi sejak tahun 2010. Kondisi ini mengakibatkan terganggunya pasokan air bersih bagi nelayan di ketiga desa, dan memaksa mereka menggunakan air laut untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK).
Melalui skema pendanaan dari Adaptation Fund (AF) dan didukung oleh KEMITRAAN – Partnership for Governance Reform, Yayasan Harmony Alam Indonesia (Yayasan HAI) meluncurkan program tiga tahun berjudul “Memperkuat Kemampuan Adaptasi Komunitas Pesisir Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim di Negeri Asilulu, Ureng dan Lima Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku di Hotel Amaris, Kota Ambon, Maluku.
“Dampak perubahan iklim semakin nyata di Maluku. Naiknya suhu secara global ini juga mempercepat naiknya air laut ke wilayah pemukiman, intensitas badai dan gelombang tinggi yang membahayakan pelayaran. Dari diskusi hari ini, saya berharap bisa menjadi pemantik bagaimana perencanaan adaptasi bisa lebih baik lagi, agar dampak negatif dari perubahan iklim dapat dikurangi sehingga kelangsungan hidup masyarakat di sekitar pesisir sejahtera,” ungkap Dewi Rizki, Direktur Program Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN.
Tak hanya itu, Rian Hidayat selaku Direktur Yayasan HAI juga menjelaskan perubahan musim panen ikan yang susah diprediksi mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berpindahnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground). Semua usaha perikanan sangat tergantung dengan ekosistem pesisir. Cuaca yang tidak menentu, frekuensi siklon yang lebih intens telah menyebabkan terganggunya sistem operasional penangkapan dan kurang produktif. Kondisi ini akan berdampak pada berkurangnya pasokan ikan dan hilangnya pendapatan nelayan tradisional, dan industri perikanan.
Rian juga berharap Program AF dapat membantu masyarakat pesisir di lokasi program untuk meningkatkan ketahanan, mengurangi kerentanan (vulnerability) secara sosial, ekonomi dan ekologi dari ancaman dampak perubahan iklim.
“Terdapat empat komponen program yang akan kita laksanakan, terdiri komponen program yang bersifat pembangunan fasilitas/infrastruktur, pengembangan ekonomi alternatif, penguatan kapasitas masyarakat khususnya nelayan, dan melakukan langkah-langkah rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan,” jelasnya.

Di bagian akhir, Dewi berharap satu persatu masalah di Maluku bisa terurai. Tentunya dengan melibatkan komitmen berbagai pihak dan pemangku kepentingan. “Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah menyatakan komitmen dukungan atas program ini kedepan, terutama Bapak Gubernur Provinsi Maluku dan Bapak Bupati Kabupaten Maluku Tengah beserta seluruh jajaran dan OPD terkait,” tambah Dewi.
Semuel E. Huwae, Asisten I Setda Maluku mengatakan, pemerintah daerah Provinsi Maluku (Pemprov) telah mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku tahun 2019-2024 melalui program unggulan Gubernur Maluku, seperti program kampung iklim, desa tangguh bencana dan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Berbagai dokumen perencanaan terkait perubahan iklim telah disusun oleh Pemprov Maluku, antara lain dokumen road map dan rencana aksi daerah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD).
Menurut dia, persoalan perubahan iklim adalah tugas menantang sehingga membutuhkan komitmen kerja sama dan konektivitas yang kuat dari level pusat sampai daerah dengan usaha kolektif yang komprehensif.
“Misalnya, menggencarkan penghijauan secara tepat, pengendalian tata ruang secara lestari, pencegahan masif terhadap karhutla, menggalakkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil, menerapkan transportasi, dan pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan,” ungkap Huwae.